Ditulis Oleh : Eka Yanuarti
A.
Pendahuluan
Teori psikologi Humanistik memberikan keluasan yang
sangat besar kepada pendidik dan Anak didik dalam melakukan dialektika
pembelajaran, sehingga terjalin komunikasi dua arah yang saling memahami karakter
dan konsern dari setiap proses pembelajaran sehingga meransang siswa untuk
“merdeka”.
Anak dapat mengkostruksi pengetahuan dan memberi makna
melalui pengelaman nyata dan dirinya sendiri yang pada akhirnya anak mampu
mengaktualisasikan dirinya sesuai jelmaan yang diinginkannya.
Adanya kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada
pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciftakan
alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang
dipelajarinya, bukan mengetahuinya. pembelajaran yang berorientasi target
penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek,
tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka
panjang.
Mengutip Kahlil Gibran dalam tulisan Anita Lie,
“Berikan mereka kasih sayangmu, tetapi jangan sodorka pikiranmu. Sebab pada
mereka, ada alam pikiran tersendiri. Engaku patut memberikan untuk raganya,
tetapi tidak untuk jiwanya. Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan
yang tidak dapat kau kunjungi sekalipun dalam mimpi. Engkau boleh berusaha
menyerupai mereka namun jangan membuat mereka menyerupaimu. Sebab kehidupan
tidak pernah berjalan mundur, juga tidak tenggelam di masa lampau. Engkaulah
busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur”. (Anita Lie, 2008: x).
Bait-bait ini menginformasikan kepada pendidik (orang tua, guru, masyarakat)
untuk memahami setiap individu dari anak-anak itu memiliki keunikan.
Manusia
(anak) adalah makhluk yang unik. Berkat daya psikis cifta, rasa dan karsanya,
manusia (anak) bisa tahu bahwa ia mengetahui dan juga ia tahu bahwa ia dalam
keadaan tidak mengetahui. Manusia (anak) mengenal dunia disekelilingnya dan
lebih daripada itu, mengenal dirinya sendiri. Dengan daya fisikisnya mampu
menghadapi persoalan kehidupan horizontal maupun vertikal. (Suparlan Suhartono,
2008: 31). Dengan potensi akal, dapat mengatasi persoalan kehidupan secara
matematis menurut asas penalaran deduktit dan induktif. Dengan potensi rasa,
mengatasi persoalan dengan estetik menurut asas perimbangan. Dengan rasa karsa
mengatasi persoalan melalui pendekatan perilaku menurut asas etika. Dengan asas
inilah manusia dapat menemukan kebenaran, keindahan dan kebaikan untuk dapat
berkehidupan yang saleh dan bijaksana (philosophia)(Suparlan Suhartono,
2008: 32).
Secara
garis besar teori-teori belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, teori belajar menurut
Psikologi Behavioristik. Kedua, teori
belajar menurut Psikologi Kognitif. Ketiga,
teori belajar menurut Psikologi Humanistik. teori yang terakhir inilah yang
akan kita temukan didalam uraian-uraian berikutnya.
Teori belajar Behavioristik yang menjelaskan tentang
peranan factor-faktor eksternal dan dampaknya terhadap perubahan perilaku
seseorang. Teori Kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan sebuah proses
mental aktif untuk memperoleh, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sedangkan
teori Humanistik menggunakan pendekatan motivasi yang menekankan pada kebenaran
personal, penentuan pilihan, determinasi diri dan perubahan individual. ((Benny A. Pribaadi, 2009: 81).
Munculnya teori humanistik merupakan tesa dan anti
tesa terhadapa teori-teori belajar sebelumnya, seperti teori psikoanalisis dan behaviorisme.
Teori humanistik mengungkapkan bahwa tiap orang itu menentukan perilaku mereka
sendiri. Mereka bebas memilih dalam memilih kualitas hidup mereka. tidak
terikat oleh lingkungannya. (Westy Sumanto, 2006: 137). Dalam tulisan ini
pembaca akan menemukan konsep-konsep humanistik yang lebih difokuskan kepada
konsep belajar humanistik ala Kolb, tetapi sedikit akan kita bahas teori-teori
belajar aliran humanistik lain sebagai perbandingan dan pengayaan agar dapat
menemukan konsep belajar Kolb secara konprehensip.
B.
Teori Humanistik
dalam Pemahaman
Pada akhir tahun 1940-an muncullah suatu perspektif
psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang
berjasa dalam perkembangan ini, misalnya ahli-ahli psikologi klinik,
pekerja-pekerja sosial dan konseler, bukan merupakan hasil penelitian dalam
bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenal sebgai
psikologi humanistik, eksenstensial, perceptual, atau fenomenologikal.
Psikologi ini berusaha untuk memahami perilaku seseorang dari sudut si pelaku (behaver),
bukan dari pengamat (observer). (Westy Sumanto, 2006: 136).
Menurut Jarolimak dan Foster, dalam dunia pendidikan,
aliran humanistik muncul pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1970-an dan
mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang
terakhir pada abad 20 ini pun juga akan menuju pada arah ini. (Westy Sumanto,
2006: 136).
James
Bugental, mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik,
yaitu: (1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen;
(2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia
lainnya; (3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan
dengan orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung
jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja
untuk mencari makna, nilai dan kreativitas. (http://delita.ngeblogs.com/2009/10/09/psikologi-humanistik).
Bagi
penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu
sendiri. Dari teori yang ada. Teori humanistik inilah yang paling abstrak, yang
paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan. (Hamzah B. Uno,
2008: 13). Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam
pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel, yang disebut juga “belajar
bermakna” atau meaningful learning. (Hamzah B. Uno, 2008: 13).
Teori
belajar humanistik menggunakan pendekatan motivasi yang menekankan pada
kebebasan personal, penentuan pilihan, determinasi diri, dan pertumbuhan
individu. Teori belajar humanistik berpandangan bahwa peristiwa belajar yang
ada saat ini lebih banyak ditekankan pada aspek kognitif semata, sementara
aspek afektif dan psikomotor menjadi terabaikan. Padahal setiap anak merupakan
individu yang unik, memiliki perasaan dan gagasan orisinil. Tugas pendidik
adalah membantu individu agar berkembang secara sehat dan sesuai dengan potensi
yang dimilikinya. (Benny A. Pribadi, 2009: 79-80).
Psikologi
humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal
dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic
education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara
keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial,
mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan
humanistik ini. (http://delita.ngeblogs.com).
Berikut teori-teori menurut tokoh-tokoh psikologi humanistik. mengutip dari
Suhirman dalam ngeblogs. com sebagai berikut.
- Combs
Combs, ia menyatakan bila kita ingin
memahami perilaku orang kita harus mencoba memahami persepsi orang itu. Apabila
ingin mengubah perilaku seseorang, kita harus berusaha mengubah keyakinan atau
pandangan orang itu, perilaku dalamlah yang membedakan seseorang dari yang lain.
- Maslow
Maslow menyatakan bahwa di dalam diri kita
ada 2 hal, yaitu : Pertama. Suatu
usaha yang positif untuk berkembang. Kedua.
Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
- Rogers
Rogers
dalam bukunya Freedom to Learn, ia menunjukkan sejumlah
prinsip-prinsip belajar humanistik yang penting, diantaranya ialah :
1)
Manusia
itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.
2) Belajar yang signifikan terjadi apabila Subject
mater dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri
3) Belajar yang menyangkut suatu perubahan di
dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk
ditolaknya.
4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri
adalah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari
luar itu semakin kecil.
5) Apabila ancaman terhadap diri siswa
rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan
terjadilah proses belajar.
6) Belajar yang bermakna diperoleh siswa
dengan melakukannya.
7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan
dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.
8) Belajar atas inisiatif sendiri yang
melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan
cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
9) Kepercayaan terhadap diri sendiri,
kemerdekaan, kreativitas lebih mudah dicapai terutama siswa dibiasakan untuk
mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan penilaian diri orang lain
merupakan cara kedua yang penting.
Belajar yang
paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai
proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan
penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu. (http//ngeblogs.
com).
Menurut Hamzah
B. Uno, tokoh-tokoh humanistik yang akan dibahas, merupakan perwujudan dalam
pendekatan Ausubel, teori ini juga dimasukkan dalam aliran kognitif. Teori ini
juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk taksonomi Bloom.
Selain itu ada empat pakar lain yang juga termasuk ke dalam kubu teori ini
adalah Kolb, Honey, dan Mumford, serta Habermas, yang masing-masing pendapatnya
akan dibahas berikut ini.
4. Bloom dan Krathwohl
Bloom dan Karthwohl menunjukan apa yang mungkin
dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut:
a.
Kognitif
Kognitif
terdiri dari enam tingkatan, yaitu:
1)
Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2)
Pemahaman (menginterpretasikan)
3)
Aplikasi
(menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
4)
Analisis
(menjabarkan suatu konsep)
5)
Sintesis
(menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
6)
Evaluasi
(membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya)
b. Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
1)
Peniruan
(menirukan gerak)
2)
Penggunaan
(menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3)
Ketetapan
(melakukan gerak dengan benar)
4)
Perangkaian
(melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5)
Naturalisasi
(melakukan gerak secara wajar)
c. Afektif
Afektif
terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
1)
Pengenalan
(ingin menerima, sadae akan adanya sesuatu)
2)
Merespon
(aktif berpartisipasi)
3)
Penghargaan
(menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu)
4)
Pengorganisasian
(menghubung-hubungkan nilai yang dipercayai)
5)
Pengalaman
(menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup)
Taksonomi Bloom ini, seperti yang
kita telah ketahui, berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar lain
untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Selain itu, Teori Bloom
juga banyak dijadikan pedoman untuk membuat butir-butir soal ujian, bahkan
digunakan oleh orang-orang yang mengkritik taksonimi tersebut. Kritikan atas
klasifikasi dan kemampuan yang dikemukakan Bloom ternyata diperbaiki
oleh para pakar pendidikan dengan mengadakan revisi pada aspek kognitif. Dalam
klasifikasi taksonominya pada aspek kogntif , Bloom mengemukakan enam
tingkatan kemampuan yang meliputi: Pengetahuan, Pemahaman, Penerapan, Analisis,
Sintesis dan Evaluasi.
5. Honey dan Mumford
Honey
dan Mumford membuat
penggolongan siswa. Menurut mereka, ada empat macam atau tipe siswa, yakni:
1). Aktivis.
Ciri
siswa yang bertipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada
pengalaman-pengalaman baru, mereka cenderung berfikiran terbuka dan mudah
diajak berdialog. Tetapi, siswa semacam ini kurang skeptis terhadap sesuatu.
2). Reflektor
Siswa
yang bertipe Reflektor, sebaliknya, cenderung sangat berhati-hati dalam
mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung
“konservatif”, dalam arti mereka suka menimbang-nimbang secara cermat baik
buruknya suatu keputusan.
3). Teoritis
Siswa
yang bersifat teoritis biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak
menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subyektif. Bagi mereka berfikir secara rasional adalah suatu yang
sangat penting.
4). Pragmatis
Siswa yang bersifat
pragmatis biasanya menaruh perhatian besar pada aspek- aspek praktis dari
segala hal. Namun kebanyakan dari siswa ini tidak suka berlarut-larut dalam
membahas suatu teori. Karna bagi mereka, sesuatu atau teori dikatakan ada
gunanya dan baik hanya jika bisa diperaktekan.
6. Habermas
Habermas memandang
bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun
dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini Habermas
mengelompokan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu:
Belajar
teknis (technical learning)
yaitu bagaimana siswa belajar berinteraksi dengan alam sekeliling.
1) Belajar praktis (practical
learning), yaitu siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini
yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan orang-orang yang ada
disekitarnya), yaitu bagaimana siswa belajar berinteraksi dengan alam
sekelilingnya.
2) Belajar emansipatoris (emancipatori
learning). Yaitu Siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang
sebaik mungkin tentang transformasi cultural dari suatu lingkungan. Bagi
Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi cultural ini dianggap
tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi cultural inilah yang
dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.
(Hamzah B. Uno, 2008: 14-16).
C. Penerapan Teori Humanis dalam Pendidikan (http//mickeydza90.blogspot.com)
Menurut
Gage dan Berliner beberapa prinsip dasar dari pendekatan humanistik yang dapat
kita pakai untuk mengembangkan pendidikan:
1. Murid akan belajar dengan baik apa yang mereka
mau dan perlu ketahui. Saat mereka telah mengembangkan kemampuan untuk
menganalisa apa dan mengapa sesuatu penting untuk mereka sesuai dengan
kemampuan untuk mengarahkan perilaku untuk mencapai yang dibutuhkan dan
diinginkan, mereka akan belajar dengan lebih mudah dan lebih cepat. Sebagian
besar pengajar dan ahli teori belajar akan setuju dengan dengan pernyataan ini,
meskipun mereka mungkin akan tidak setuju tentang apa tepatnya yang menjadi
motivasi murid.
2. Mengetahui bagaimana cara belajar lebih
penting daripada membutuhkan banyak pengetahuan. Dalam kelompok sosial kita
dewasa ini dimana pengetahuan berganti dengan sangat cepat , pandangan ini
banyak dibagi diantara kalangan pengajar, terutama mereka yang datang dari
sudut pandang kognitif.
3. Evaluasi diri adalah satu satunya evaluasi yang berarti untuk pekerjaan
murid. Penekanan disini adalah pada perkembangan internal dan regulasi diri.
Sementara banyak pengajar akan setuju bahwa ini adalah hal yang penting, mereka
juga akan mengusung sebuah kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan murid untuk
berhadapan dengan pengharapan eksternal. Pertemuan dengan pengaharapan eksternal seperti ini menghadapkan
pertentangan pada sebagian besar teori humanistik.
4. Perasaan adalah sama penting dengan
kenyataan. Banyak tugas dari pandangan humanistik seakan memvalidasi poin ini
dan dalam satu area, pengajar yang berorientasi humanistik membuat sumbangan
yang berarti untuk dasar pengetahuan kita.
5. Murid akan
belajar dengan lebih baik dalam lingkungan yang tidak mengancam. Ini adalah
salah satu area dimana pengajar humanistik telah memiliki dampak dalam praktek
pendidikan. Orientasi yang mendukung saat ini adalah lingkungan harus tidak
mengancam baik secara psikologis, emosional dan fisikal. Bagaimanapun, ada
penelitian yang menyarankan lingkungan yang netral bahkan agak sejuk adalah
yang terbaik untuk murid yang lebih tua dan sangat termotivasi.
Menurut
aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang lebih tinggi
dan merencanakan pendidikan dan kurikukum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia mempunyai keinginan
alami untuk berkembang, untuk lebih baik, dan juga belajar. Jadi sekolah harus
berhati-hati supaya tidak membunuh insting ini dengan memaksakan anak belajar
sesuatu sebelum mereka siap. Jadi bukan hal yang benar apabila anak dipaksa
untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap secara fisiologis dan juga punya
keinginan. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator yang membantu
siswa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, bukan sebagai
konselor seperti dalam Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada
behaviorisme.
Secara
singkatnya, pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan
positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan
menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal
ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri
yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga
masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini
menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan
keberhasilan akademik. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat
laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar
ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya. Para pendidik hanya membantu siswa untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka
sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi
yang ada dalam diri mereka.
Menurut teori
ini ciri-ciri guru yang baik adalah yang memiliki rasa humor, adil, menarik,
lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Mampu
mengatur ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikannya pada perubahan.
Sedangkan guru yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang rendah,
mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentar yang
menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang
ada.
D. Implikasi dan Aplikasi Teori Belajar dalam
Proses Pembelajaran dan Pengajaran
Guru sebagai
fasilitator memberikan perhatian kepada siswa. Sebagai fasilitator merupakan cara
untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas. Ini merupakan ikhtisar
yang sangat singkat dari beberapa guidenes
(petunjuk), diantaranya: Fasilitator membantu, mengatur, mengarahkan, dan pengambil
prakarsa dalam proses pembelajaran dan implikasi (side effect) dari hasil pembelajaran. sebab guru merupakan salah
satu sumber belajar. http//mickeydza90.blogspot.com.
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa
berperan sebagai pelaku utama (student
center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan
siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan
meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan
pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun
proses yang umumnya dilalui adalah :
- Merumuskan tujuan belajar yang jelas
- Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
- Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
- Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
- Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
- Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
- Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
- Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik
ini cocok untuk diterapkan
pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari
keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif
dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas
kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak
terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara
bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan ,
norma , disiplin atau etika yang berlaku.
E.
Biografi
Kolb
David Kolb lahir pada tahun 1939. dan ia dibesarkan di
kota New York. Gelar BA-nya dari universitas Fordham pada tahun 1963. Dan Gelar
Master of Artnya pada tahun 1964. Ia menerima gelar Master of Philosofy
dari universitas Yale pada tahun 1970. dan Doktornya ia peroleh pada tahun
1972. Ia menulis disertasi “Conceptual
Pluralism and Rationality”. Ia mengajar di Universitas Chicago sebelum ia
pindah ke Bates pada tahun 1977.
Kolb telah menuslis beberapa artikel dan buku yang telah
diterbitkan. diantaranyan:
- The
Critique of Pure Modernity: Hegel, Heidegger, and After, 1987
- Postmodern
Sophistications: Philosophy, Architecture, and Tradition, 1990
- New
Perspectives on Hegel's Philosophy of Religion, 1992
- Socrates
in the Labyrinth: Hypertext, Argument, Philosophy, 1994
- Sprawling
Places, 2008
- "On the Objective and Subjective
Grounding of Knowledge", translation, with introduction and notes, of
an essay by the Neo-Kantian Paul Natorp, in the Journal of the British
Society for Phenomenology, 1981.
- "Language and Metalanguage in
Aquinas", in the Journal of Religion, 1981, "Socrates and
Stories", in Spring, 1981.
- "Sellars on the Measure of All
Things", in Philosophical Studies, 1979.
- "Ontological Priorities: A
Critique of the Announced Goals of Descriptive Metaphysics", in
Metaphilosophy, 1975.
- "Time and the Timeless in Greek
Thought", in Philosophy East-West, 1974.
F.
Teori
Belajar Menurut Kolb
Pembahasan seorang ahli yang bernama Kolb membagi tahapan belajar kepada empat kutub, yaitu.
1.
Pengalaman kongkrit (Concret Experience=CE)/feeling/intuisi
2.
Pengamatan aktif dan reflektif (Active
Experience=AE)/doing/tindakan
3.
Konseptualisasi (Abstract
Conceptualization=AC)/thingking/pemikiran
4.
Eksperimentasi aktif (Reflective
Observation=RO)/waching/pemerhatian
Tanpa
disadari dan direncanakan sebelumnya, setiap anak memiliki cara belajarnya
sendiri. Mencoba mengenali "Gaya Belajar" anak, dan tentunya setelah
guru mengenali "Gaya Belajar"nya sendiri, akan membuat proses
belajar-mengajar jauh lebih efektif.
Dari
sekian banyak teori atau temuan mengenai "Gaya Belajar", dalam
kesempatan ini kita akan membahas sebuah model yang dikemukakan oleh David Kolb
(Styles of Learning Inventory,1981).
CE/Feeling
Accomodator / 4 Diverger / 1
AE/Doing RO/Waching
Corverger / 3 Assimilator / 2
AC/Thinking
Bagan. Gaya pembelajaran Kolb
David
Kolb mengemukakan adanya empat kutub yang telah disebutkan diatas, (1-4)
kecenderungan seseorang dalam proses belajar, kutub-kutub tersebut yang dikutip
dari (http//www.pdf reaserch.com). Antara lain:
a. Kutub Perasaan/FEELING (Concrete
Experience)
Anak belajar melalui perasaan,
dengan menekankan segi-segi pengalaman kongkret, lebih mementingkan relasi
dengan sesama dan sensitivitas terhadap perasaan orang lain. Dalam proses
belajar, anak cenderung lebih terbuka dan mampu beradaptasi terhadap perubahan
yang dihadapinya.
b. Kutub Pemikiran/THINKING (Abstract
Conceptualization)
Anak belajar melalui pemikiran
dan lebih terfokus pada analisis logis dari ide-ide, perencanaan sistematis,
dan pemahaman intelektual dari situasi atau perkara yang dihadapi. Dalam proses
belajar, anak akan mengandalkan perencanaan sistematis serta mengembangkan
teori dan ide untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
c. Kutub Pengamatan/WATCHING (Reflective
Observation)
Anak belajar melalui
pengamatan, penekanannya mengamati sebelum menilai, menyimak suatu perkara dari
berbagai perspektif, dan selalu menyimak makna dari hal-hal yang diamati. Dalam
proses belajar, anak akan menggunakan pikiran dan perasaannya untuk membentuk opini/pendapat.
d. Kutub Tindakan/DOING (Active
Experimentation)
Anak belajar melalui tindakan,
cenderung kuat dalam segi kemampuan melaksanakan tugas,berani mengambil resiko,
dan mempengaruhi orang lain lewat perbuatannya. Dalam proses belajar, anak akan
menghargai keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaan, pengaruhnya pada
orang lain, dan prestasinya. Menurut Kolb, tidak ada individu yang gaya
belajarnya secara mutlak didominasi oleh salah satu saja dari kutub tadi. Yang
biasanya terjadi adalah kombinasi dari dua kutub dan membentuk satu kecenderungan
atau orientasi belajar. Empat kutub di atas membentuk empat kombinasi gaya belajar.
Pada model di atas, empat kombinasi gaya belajar diwakili oleh angka 1 hingga
4, dengan penjelasan seperti di bawah ini:
1. Gaya Diverger
Kombinasi dari perasaan dan
pengamatan (feeling and watching). Anak dengan tipe Diverger unggul
dalam melihat situasi kongkret dari banyak sudut pandang yang berbeda.
Pendekatannya pada setiap situasi adalah "mengamati" dan bukan
"bertindak". Anak seperti ini menyukai tugas belajar yang menuntutnya
untuk menghasilkan ide-ide (brainstorming), biasanya juga menyukai isu budaya
serta suka sekali mengumpulkan berbagai informasi.
2. Gaya Assimillator
Kombinasi dari berpikir dan
mengamati (thinking and watching). Anak dengan tipe Assimilator memiliki
kelebihan dalam memahami berbagai sajian informasi serta merangkumkannya dalam suatu
format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya anak tipe ini kurang perhatian
pada orang lain dan lebih menyukai ide serta konsep yang abstrak, mereka juga
cenderung lebih teoritis.
3. Gaya Converger
Kombinasi dari berfikir dan
berbuat (thinking and doing). Anak
dengan tipe Converger unggul dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide
dan teori. Biasanya mereka punya kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah
dan pengambilan keputusan. Mereka juga cenderung lebih menyukai tugas-tugas
teknis (aplikatif) daripada masalah sosial atau hubungan antar pribadi.
4. Gaya Accomodator
Kombinasi dari
perasaan dan tindakan (feeling and doing). Anak dengan tipe Accommodator
memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang
dilakukannya sendiri.
Mereka suka
membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam berbagai pengalaman baru dan menantang.
Mereka cenderung untuk bertindak berdasarkan intuisi/dorongan hati daripada berdasarkan
analisa logis. Dalam usaha memecahkan masalah, mereka biasanya mempertimbangkan
faktor manusia (untuk mendapatkan masukan/informasi) dibanding analisa teknis.
Menyimak
berbagai gaya belajar di atas, sebagai guru perlu kiranya kita tetap sensitif
terhadap strategi belajar kita sendiri, yang mungkin sama atau sama sekali
berbeda dengan orientasi belajar peserta didik di kelas. Perbedaan itu dapat
menimbulkan kesulitan dalam kegiatan belajar-mengajar (dalam interaksi,
komunikasi, kerjasama, dan penilaian). Jika mengajar kita pahami sebagai
kesempatan membantu peserta didik untuk belajar, maka kita harus berusaha
membantu mereka memahami "Style of
Learning"nya, dengan tujuan meningkatkan segi-segi yang kuat dan
memperbaiki sisi-sisi yang lemah dari padanya.
Pada tahap paling
dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami
suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian
tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus
terjadi seperti itu. Ini lah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar. (Hamzah
B. Uno, 2008:15).
Pada tahap kedua,
siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian
itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Inilah yang kurang lebih
terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflektif. (Hamzah B. Uno,
2008:15).
Pada tahap ketiga,
siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau ”teori” tentang suatu hal yang
pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu untuk membut
aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun
tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama. (Hamzah
B. Uno, 2008:15).
Pada tahap akhir
(eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke
situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami
”asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk
memecahkan suatu masalah yang belum ia temui sebelumnya. (Hamzah B. Uno,
2008:15).
Menurut Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara
berkesinambungan dan berlangsung diluar kesadaran siswa. Dengan kata lain,
meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan
tahap lainnya, namun dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya
itu seringkali begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya. (Hamzah B.
Uno, 2008:15). Dari teori yang diungkapkan oleh Kolb menunjukkn bahwa anak
dapat melakukan proses pemahaman terhadap teks dan konteks yang ada
dihadapannya dapat diserap dengan baik, bila teks dan konteks yang disodorkan
semakin konkrit. Anak-anak masih sulit memahami teks maupun konteks secara
abstrak, walaupun secara bertahap mereka mulai dapat memahmi hal-hal yang
abstrak dan membuat konsep-konsep sederhana.
G.
Karakteristik
Gaya Belajar
Styles of
Learning Kolb ini akan menjadi lebih sempurna bila dikaitkan dengan
karakteristik gaya dan cara belajar siswa yang dikenal dengan tipe, Visual,
auditory, dan kinestetik.
Manusia visual menerima dan memproses informasi dengan
cara melihat dan menciftakan gambaran mentalnya. Secara khas, orang visual akan
menggunakan kata-kata seperti ‘tunjukkan
kepada saya’,’kelihatannya’, atau ‘perhatikan
ini’. jika merasa bingung, mungkin ia berkata ‘saya hanya tak bisa melihatnya’. (Amir Tengku Ramly, 2008: 41).
Manusia auditory menerima dan memproses informasi
dengan mendengarkan kata-kata atau suara-suara. Orang auditory cenderung
menggunakan kata-kata seperti ‘ceritakan pada saya’, ‘kedengarannya seperti…’,
‘saya ingin mendengarkan lagi’’. Jika sedang bingung, biasanya cepat berkata
‘kedengarannya tidak betul’, dan ‘saya tidak bisa mendengar anda’. (Amir Tengku
Ramly, 2008: 41).
Manusia kinestetik menerima dan memproses informasi
melalui perasaan dan sensasi. Biasanya cepat berkata ‘rasanya seperti…’, ‘bagi
saya rasanya enak’, ‘saya merasa anda ingin supaya saya…’. Jika bingung,
mungkin akan berkata ‘ada yang terasa tidak benar’, ‘saya tidak bisa
merasakannya’. (Amir Tengku Ramly, 2008: 41).
Bila
guru merasa kesulitan dalam mengajar, mengapa siswanya tidak mau memperhatikan
materi yang disampaikan, boleh jadi karena gaya dan cara belajar antara guru
dan siswa berbeda. Saat menggunakan teknik bercerita dan diskusi, anak yang
memiliki cara dan gaya belajar auditory, maka ia dengan mudah menangkap materi
yang diajarkan, sementara anak yang cara dan gaya belajarnya visual tampak acuh
dan anak yang cara dan gaya belajarnya kinestetik menguap karena bosan. Saat menggunakan
alat peraga gambar, ganti anak auditory yang kurang semangat sementara anak
visual dengan antusias mengikuti, sedang anak kinestetik tampak biasa-biasa
saja. Namun, saat guru mengajak mereka mengerjakan prakarya, anak kinestetik
begitu bersemangat, sementara auditory dan visual ogah-ogahan mengikuti materi
yang disampaikan oleh gurunya.
H.
Peran Guru (Roles of Teacher)
Peran guru
dalam teori psikologi humanistik, merupakan salah satu dari sekian
sumber belajar, ia sebagai fasilitator. Hal ini sejalan dengan Carl Roger dalam buku Uyoh Sadulloh (2003:
174). Guru harus dapat dan mampu mengkonstruksikan perbedaan-perbedaan yang
dimiliki siswa, baik karakter, cara belajar, dan lain-lian, guru dapat
mengelola perbedaan-perbedaan tersebut dan tidak hanya mau didengarkan tetapi
juga harus mau mendengarkan.
Guru sebagai pembimbing siswa dalam kegiatan pemecahan
masalah dan kegiatan proyek. Mungkin akan banyak guru yang kurang senang
terhadap peran ini, karena didasarkan atas suatu anggapan siswa mampu berpikir
dan mengadakan penjelajahan terhadapa kebutuhan dan minat sendiri. Sebab siswa dalam
menentukan dan memilih masalah-masalah yang bermakna, menemukan sumber-sumber
data yang relevan, menafsirkan dan menilai akurasi data, serta merumuskan
kesimpulan. Guru harus mengenali siswa, terutama pada saat apakah ia memerlukan
bantuan khusus dalam kegiatan, sehingga ia dapat meneruskan penelitiannya. Guru
dituntut untuk sabar, fleksibel, berfikir interisipliner, dan cerdas. (Uyo
Sadulloh, 2003: 148).
Tanpa disadari dan direncanakan
sebelumnya, setiap anak memiliki cara belajarnya sendiri. Mencoba mengenali
"Gaya Belajar" anak, dan tentunya setelah guru mengenali "Gaya
Belajar"nya sendiri, akan membuat proses belajar-mengajar jauh lebih
efektif dan bermakna, bila guru mendorong siswa untuk belajar dan tumbuh.
Guru sering dibuat jengkel oleh muridnya, karena ia
tidak mau memperhatikan dan mendengarkan, siswanya bersipat masabodoh, tiada
peduli, dan acuh tak acuh. Ternyata disamping harus memahami siswa-siswi kita
secara total (kaffah), guru juga harus memiliki hubungan yang erat
dengan bentuk silaturahim. Ternyata sikap-sikap yang dicapkan kepada siswa yang
kita ajarkan tersebut, dibalik itu semua mereka membutuhkan perhatian dan
penghargaan.
Solusi yang harus dilakuakan oleh guru, mereka harus
memberi pujian dan hadiah juga merupakan suatu pendorong samangat kerja, tidak
perlu banyak dikeritik, pilih kasih terhadap siswa yang “pintar dan bodoh” (M.
Nashir Ali, 1987: 58). Disamping itu gaya bahasa dan cara menyampaikan
materipun harus disadari oleh guru, siapa dan bagaimana siswa yang saya hadapi,
sehingga pembelajarannya lebih meaningfull learning.
Ceritah berikut ini mengilustrasikan bagaimana
anak/siswa dapat memahami teks dan konteks yang akan disampaikan oleh guru
kepada siswa kelas satu dan kelas empat sekolah dasar yang sesuai dengan daya
serapnya masing-masing.
Tertib di Kelas
pak guru mengajar
kami duduk tenang
kami memperhatikan apa yang diajarkan
kami ingin pintar.
(Dyah Sriwilujeng, 2007: 27)
Kisah Seorang Guru Ngaji
Alkisah, di sebuah desa yang jauh dari
keramaian kota, tinggallah seorang guru ngaji yang sangat bersahaja. Guru ngaji
itu bernama Pak Salim. Sebagai guru ngaji Pak Salim tidak dibayar. Namun, Pak
Salim melakukannya dengan senang hati karena menurut dia itu merupakan ibadah.
Sehabis jamaah shalat Maghrib di musholla, Pak Salim dikelilingi anak-anak
untuk belajar mengaji.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Pak
Salim membuka warung sayur kecil-kecilan dibantu istrinya. Setiap dua hari
sekali Pak Salim membeli barang dagangannya di desa lain yang cukup jauh dengan
naik angkutan umum (angkudes).
Pada suatu hari, seperti biasanya Pak
Salim pagi-pagi berangkat membeli sayur-mayur dengan naik angkudes. Karena hari
itu agak banyak pesanan dari para pelanggan, bawaan Pak Salim cukup banyak.
Begitu Pak Salim turun dari kendaraan bersama dagangan yang dibelinya, sebelum
Pak Salim sempat membayar ongkos, angkudes yang ditumpanginya keburu pergi.
Setelah segera pergi mencari sopir angkudes yang ditumpanginya.
Sesampai di terminal angkudes
biasanya dia naik turun, ternyata angkudes yang ditumpanginya sudah pergi. Oleh
orang yang ada di terminal, Pak Salim diberi tahu bahwa angkudes yang dicarinya
menuju ke selatan. Pak Salim pun mencarinya ke selatan, namun tidak
menemukannya. Setelah istirahat shalat Dzuhur Pak Salim melanjutkan
pencariannya dan dilanjutkan sesudah shalat ‘Ashar. Alhamdulillah, menjelang
waktu Maghrib, Pak Salim dapat menemukan sopir angkudes yang dicarinya. Pak
Salim segera membayar ongkos tumpangan dan tidak lupa Pak Salim mohon maaf. Pak
Salim pun segera pulang.
Di musholla, anak-anak sudah
gelisah, begitu juga istri Pak Salim. Ke mana gerangan Pak Salim?Biasanya waktu
Maghrib Pak Salim berjamaah di musholla dan segera mulai mengajar
ngaji.Kecemasan anak-anak pun lenyap begitu melihat Pak Salim datang
tergopoh-gopoh sambil mengucapkan salam kepada anak-anak. Setelah Pak Salim
selesai shalat Maghrib, dia pun bercerita tentang keterlambatannya. Anak-anak
mendengarkan kisah pengalaman Pak Salim hari itu dengan penuh perhatian.
Anak-anak yang masih lugu itu pun bertanya: mengapa Pak Salim tidak menunggu
besok pagi atau kapan saja. Bukankah Pak Salim sering ketemu sopir yang sudah
lama dia kenal dan dapat membayarnya pada saat ketemu?
Mendengar pertanyaan itu Pak Salim
pun menjawab dengan pelan tetapi penuh kesungguhan: ” Anak-anak sekalian, hal
itu saya lakukan karena saya tidak ingin merugikan orang lain. Tidak ingin
mengambil hak oranglain. Bukankah ongkos tumpangan itu ditunggu keluarga pak
sopir?!Kedua, karena saya merasa berhutang sekalipun tidak sengaja dan oleh
karenanya harus segera saya bayarkan. Mengapa?Karena saya tidak yakin dapat
bertemu dengan sopir yang saya cari. Siapa yang dapat menjamin bahwa saya akan
dapat ketemu sopir yang baik hati itu?”
Mendengar alasan Pak Salim itu,
semua anak tercenung, bahkan ada yang meneteskan air mata. Mereka bangga dan
memuji pak guru ngaji yang sederhana itu ternyata berhati mulia.Seorang guru
yang patut diteladani. Dia tidak mau mengambil hak orang lain. Dia penuhi hak orang
lain dengan ikhlas meskipun dia harus bersusah payah karena itu merupakan
kewajibannya! Subhanallah. (Ahmad Mursyidi, Makalah Lokakarya).
Memang
proses belajar mengajar terpusat kepada anak/siswa, namun hal ini tidak berarti
bahwa anak akan diizinkan untuk mengikuti semua keinginannya, karena ia belum
cukup matang untuk menetukan tujuan yang memadai. Anak memang banyak berbuat
dalam menentukan proses belajar, namun ia bukan penentu akhir. Siswa
membutuhkan bimbingan dan arahan dari guru dalam melaksanakan aktivitasnya.
Pengelaman
anak adalah rekonstruksi yang terus menerus dari keinginan dan kepentingan
pribadi. Mereka aktif bergerak untuk mendapatkan isi mata pelajran yang logis.
Guru mempengaruhi pertumbuhan siswa, tidak dengan menjejalkan informasi ke
dalam kepala anak, melainkan dengan pengawasan lingkungan di mana pendidikan
berlansung. Pertumbuhan diartikan sebagai peningkatan intelegensi dalam
pengelolaan hidup dan adaptasi yang intelegen (cerdas) terhadap lingkungan.
(Uyo Sadulloh, 2003: 146).
Guru harus benar-benar memahami motivasi belajar
siswanya dan kemudian memberi motivasi yang tepat. Apabila siswa motivasi
berprestasi tinggi, lebih berkeinginan meraih keberhasilan, lebih terlibat
dalam tugas-tugas dan tidak menyukai kegagalan, maka dalam hal ini tugas guru
menyalurkan semangat kerja keras, dan apabila siswa memiliki motivasi
berprestasi rendah, yang pada umumnya lebih suka menghindari dari tugas, maka
guru sebaiknya memberi motivasi yang lebih agar siswa tersebut sadar akan
belajar dan diharapkan guru mampu berkreasi dalam kegiatan-kegiatan
pembelajaran.
Peran guru tidak lah menjadi berat dan terbebani,
bila guru tersebut sudah sampai pada tahap guru professional. Guru telah
menjadi profesi bagi sebagian orang. Profesi yang berasal dari kata to profess yang artinya menyatakan atau
menjabat. Suatu pernyataan atau janji yang terbuka. Bahwa seorang akan
mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa,
karena merasa terpanggil. (Abdullah Idi, 2005: 1). Hal ini menunjukkan kalau
guru dijadikan profesi maka pelayanannya merupakan pelayanan prima, sehingga
disebutlah dengan istilah guru profesional.
Guru professional adalah guru yang mengenal tentang
dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta
didik untuk/dalam belajar. ( Kunandar, 2007: 48). Didalam Undang-undang Guru
dan Dosenpun telah disebutkan guru adalah pendidika yang profesinal. Dan ini
merupakan payung bagi guru untuk menunjukkan jati dirinya.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen).
Guru sebagai pendidik maka ia harus terdidik, guru
sebagai pengajar ia harus terpelajar, guru sebagai pembimbing dan pengarah ia
harus terarah, guru sebagai pelatih ia harus terlatih, guru sebagai penilai ia
harus bernilai,dan guru sebagai
pengevaluasi ia harus instrupeksi diri. Sehingga guru sadar betul kalau ia
berada didalam kelas bukanlah untuk mencetak manusia-manusia turbo. Melaikan
menjadi guru professional. Yang ketika ia hadir, siswa-siswinya merasakan aura
kesejukan, kedamaian, kenyamanan, keceriaan, dan lain-lain. Tentu saja suasana
didalam kelas tersebut akan selalu dirindukan oleh siswa-siswinya.
Guru professional diibaratkan seperti seniman.
Seniman tidak pernah melukis yang sudah pernah dilukis, tertata, dan ekspresif
totalitas. Bila konsep seniman ini diterapkan oleh guru agar tercapai guru yang
professional, ia akan paham bagaiman betul mengajar yang setiap anak memiliki
karakter yang berbeda serta dan pola belajar yang berbeda, tentu saja guru
tidak mengajar dikelas seperti menonton televisi dan ia sebagai pengendali
chanel melalui remote. Guru juga harus tertata, sikapnya, ucapannya, dan
perbuatannya, serta ekspresif totalitas, guru seperti ini tidak pernah merasa
puas dan ia akan selalu belajar. Guru adalah jiwanya, sehingga bila jiwa itu lari
dari jasadnya maka guru itu sudah mulai merasakan kematianya dalam mendidik,
membimbing dan seterusnya.
Guru profesional juga harus tajam namun tidak
melukai, harus cepat tapi tidak mendahului, harus serdas tapi tidak membodohi.
Ketiga hal ini harus dianut oleh guru professional agar kepala sekolah sebagai
manajer dan pemimpinnya merasa bangga terhadap guru binaanya, sehingga gerbang
keberhasilan anda untuk menjadi guru professional telah berada dalam genggaman.
Ketika guru sudah tidak pada etiknya (tidak
professional), maka wajar kalau akhir-akhir ini mulai dipertanyakan
profesionalisme guru, karena banyak pelajar-pelajar sebagai orang yang terdidik
justru malah tidak berpendidikan. Tawuran antar pelajar, pemukulan oleh guru
kepada siswa dan sebaliknya. Fenomena ini tidak lepas dari peran guru yang
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan melatih siswanya secara
kognitif, afektif, dan psikomotor agar menjadi siswa yang berakhlak mulia dan
bertakwa kepada Allah.
Guru yang professional bukanlah guru yang hanya dapat
mengajar dengan baik, tetapi juga guru yang dapat mendidik. Untuk ini selain
menguasai ilmu yang daiajarkan dan cara mengajarkannya dengan baik, seorang
guru juga harus memiliki akhlak yang baik. Meningkatkan pengetahuan, menjadi motivator,
inspirator, dinamisator, fasilitator, katalisator, dan evaluator. (Abuddin
Nata, 2003: 147). Sehingga guru dapat dijadikannya idola.
Untuk menjadi guru idola, harus merubah paradigma teaching (to have) kepada paradigman learning
(to be). Paradigma to have (memiliki) adalah suatu gagasan
atau pola pikir seseorang yang cenderung dan mengutamakan pada kebutuhan
materi, sedangkan paradigma to be
(menjadi) adalah suatu gagasan atau pola pikir yang cenderung pada nilai-nilai
non materi. (Amir Tengku Ramli, 2008: 20). Dengan konsep to be siswa dituntut dapat mengahdapi dan memecahkan masalahnya
sendiri, karena guru hanyalah sebagai fasilitator atau patner yang
pengajarannya mengedepankan nilai-nilai dan jiwa yang hidup, dengan cinta dan
kasih sayang.
Guru tidak hanya berhenti hanya pada peran sebagai the messenger who delivers the message.
Identitas dan integritas seorang guru memungkinkannya untuk menyapa setiap
pribadi peserta didik, menyentuh hatinya, dan membebaskannya untuk menemukan
guru didalam dirinya sendiri. Palmer menyebutnya the teacher within. Implikasinya seorang guru sejati dipanggil
untuk membebaskan peserta didik bukan saja dari ketidak tahuan melainkan juga
membebaskan peserta didik ketergantungan kepada guru. Seorang guru dipanggil
untuk membebaskan peserta didik dari ketidak sadaran bahwa sebenarnya si
peserta didik mempunyai guru sendiri, yakni yang ada didalam dirinya sendiri,
yang akan terus membimbing dan memimpinnya sepanjang hayat. (Anita Lie, 2008:
26). Untuk mengarah kepada paradigma to
be guru juga harus memiliki kompotensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan
professional.
I.
Peran Siswa
(Roles of Student)
Siswa akan maju menurut iramanya sendiri dengan suatu
perangkat materi yang sudah ditentukan lebih dulu untuk mencapai suatu perangkat
tujuan yang telah ditentukan pula dan para siswa bebas menentukan cara mereka
sendiri dalam mencapai tujuan mereka sendiri. Wasty Suamanto, 2006: 238). Siswa
merupakan center of interes dalam kajian psikologi humanistik. Dan
termasuk bagian pentin dalam partisipasi sosial (Active social participation).
Dalam
menentukan kriteria ketuntasan minimal (KKM) penetapan itu harus dilihat secara
universal, seperti kemampuan siswa dan guru, kondisi sekolah, dan sarana
prasarana yang tersedia untuk menyampaikan materi yang berkaitan. (Kunandar,
2007: 428). Peran siswa sangat berpengaruh, sehingga bila keterlibatan mereka
sangat sedikit, akan mengakibatkan kejumudan dan kejenuhan bagi siswa untuk
memenuhi tuntutan guru terhadap dirinya, sebab lembaga pendidikan bukanlah
tempat atau fasilitas untuk berlakunya proses pembelajaran yang tidak
manusiawi.
Anak atau
siswa yang rasional selalu bertindak sesuai tingkatan perkembagangan umur
mereka. Ia mengadakan reaksi-reaksi terhadap lingkungannya, atau adanya aksi
dari ligkungan maka ia melakukan ketiatan atua aktivitas. Dalam pendidikan kuno
aktivitas anak tidak pernah diperhatiakn karena menurut mereka anak dilahirkan
tidak lain sebagai “orang dewasa dalam bentuk kecil”. Ia harus diajar menurut
kehendak orang dewasa. Karena itu ia harus menerima dan mendengarkan apa-apa
yang diberikan dan disampaikan orang dewasa atau guru tanpa kritik. Anak tak
obah seperti gelas kosong yang pasif menerima apa saja yang dituangkan
kedalamnya. (Ramayulis, 2005: 105). Apa yang telah disampaikan oleh Ramyulis
tersebut, merupakan sekelumit fenomena yang telah dan berlansung didalam dunia
pendidikan bangsa Indonesia. Walaupun
sudah ada sebagian yang sudah berpindah kepada paradigma manusiawi.
Dari
kutub-kutub yang telah disampaikan oleh Kolb, yang dituntut untuk memahami
adalah guru, bukan siswa, guru dituntut untuk memahami karakteristik dan gaya
belajar siswa. Sehingga kefitrahan siswa tidak termarjinalisasi.
J.
Peran Teman
Sebaya (Roles of Peers)
Peran teman sebaya pada psikologi humanistik memiliki
peran penting. Anak-anak itu memiliki kecerdasan dan kemerdekaan yang hakiki,
dan anak-anak yang seumur atau sebaya lebih dapat menyampaikan pesan-pesan
diantara mereka, ketimbang terhadap guru atau orang tua mereka sendiri.
Manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyi
individualitas hidup dalam dan dengan kelompok sosial. Kelompok manusia itu
merupakan gejala universal. Manusia tidak mungkin hidup tanpa kelompok, justru
kelompok sosiallah yang menjadikan manusai dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana
wajarnya. (Abu Ahmadi, 2007: 77). Kerjasama merupakan bagaimana salah satu
media agar antar siswa dapat bertukar peran. Dapat kita lihat bahwa kesempatan
kerjasama ini di sekolah kurang mendapat perhatian. Kerja kelompok sebagai
metode mengajar jarang dilakukan. Murid-murid dilarang berkerjasama atau bertukar
pikiran selama jam pelajaran. (Nasution, 2009: 75). Dan sekolah biasanya
terlampau memusatkan perhatian kepada pendidikan akademis. Salah satu aspek
yang perlu mendapat perhatian ialah memupuk hubungan sosial dikalangan
murid-murid. (Nasution, 2009: 51).
Belajar adalah suatu proses. Artinya kegiatan belajar
terjadi secara dinamis dan terus-menerus yang menyebabkan terjadinya perubahan
dalam diri anak. Perubahan yang dimaksud dapat berupa pengetahuan (knowledge)
atau perilaku (behavior).
Dua
anak yang tumbuh dalam kondisi dan lingkungan yang sama dan meskipun mendapat perlakuan
yang sama, belum tentu akan memiliki pemahanan, pemikiran dan pandangan yang sama
terhadap dunia sekitarnya. Masing-masing memiliki cara pandang sendiri terhadap
setiap peristiwa yang dilihat dan dialaminya. Belajar sebenarnya mengandung
arti bagaimana kita menerima informasi dari dunia sekitar kita dan bagaimana
kita memproses dan menggunakan informasi tersebut. Mengingat setiap individu memiliki
keunikan tersendiri dan tidak pernah ada dua orang yang memiliki pengalaman
hidup yang sama persis. Maka peran teman sebaya merupakan “pengayaan” antar
individu yang unik.
K.
Konsep Dalil
Naqli terhadap Teori Humanistik Kolb
tA$s% ¼çms9 4Óy›qãB ö@yd y7ãèÎ7¨?r& #’n?tã br& Ç`yJÏk=yèè? $£JÏB |MôJÏk=ãã #Y‰ô©â‘ ÇÏÏÈ tA$s% y7¨RÎ) `s9 yì‹ÏÜtGó¡n@ zÓÉëtB #ZŽö9|¹ ÇÏÐÈ y#ø‹x.ur çŽÉ9óÁs? 4’n?tã $tB óOs9 ñÝÏtéB ¾ÏmÎ/ #ZŽö9äz ÇÏÑÈ tA$s% þ’ÎT߉ÉftFy™ bÎ) uä!$x© ª!$# #\�Î/$|¹ Iwur ÓÅÂôãr& y7s9 #\�øBr& ÇÏÒÈ tA$s% ÈbÎ*sù ÓÍ_tF÷èt7¨?$# Ÿxsù ÓÍ_ù=t«ó¡s? `tã >äóÓx« #Ó¨Lym y^ω÷né& y7s9 çm÷ZÏB #[�ø.ÏŒ ÇÐÉÈ
“Musa berkata kepada Khidir:
"Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar
di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?". Dia menjawab:
"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu?". Musa berkata: "Insya Allah kamu akan
mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam
sesuatu urusanpun". Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka
janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu". (Q.S. al-Kahfi; 66-70).
Asbabun Nuzul ayat ini diriwayatkan dari Imam Bukhari melalui
sahabat Nabi yang bernama Ibn ‘Abbas bahwa ia mendengar Rasulullah S.A.W.
bersabda, “ Sesungguhnya Musa tampil berkhutbah di depan Bani Israil, lalu dia
ditanya, siapakah orang yang paling berilmu? Musa menjawab “saya”. Maka Allah
mengecamnya karena dia tidak mengembalikan pengetahuan tentang hal tersebut
kepada Allah. Lalu Allah mewahyukan kepadanya bahwa: “aku mempunyai seorang
hamba yang berada di pertemuan dua lautan. Dia lebih mengetahui daripada
engkau. Nabi Musa A.S. bertanya “Tuhan bagaimana aku dapat bertemu dengannya?”
Allah berfirman “ambillah seekor ikan dan tempatkan ia diwadah yang terbuat
dari daun kurma lalu ditempat mana engkau kehilangan ikan itu, maka disanalah
dia.”
Guru sebagai fasilitator memiliki peranan sebagai membantu, mengatur, mengarahkan, dan
pengambil prakarsa. Salahsatunya merupakan makna dari kata tabi’a. Dalam teks ayat ini mendapat
tambahan ta pada kata attabi’aka mengandung makna kesungguhan
dalam upaya mengikuti (Pelajaran). Musa sebagai pengikut atau pelajar. Jadi sekolah harus berhati-hati supaya
tidak membunuh insting ini dengan memaksakan anak belajar sesuatu sebelum
mereka siap. Jadi bukan hal yang benar apabila anak dipaksa untuk belajar
sesuatu sebelum mereka siap secara fisiologis dan juga punya keinginan
kata khubra pada ayat
ini bermakna pengetahuan yang mendalam. Dari akar yang sama lahir kata khabir yakni pakar yang sangat dalam
pengetahuannya. Nabi Musa A.S. memiliki ilmu lahiriah dan meniaia sesuatu
berdasarkan hal-hal yang bersifat lahiriah (watching and doing). Tetapi
seperti diketahui, setiap hal yang lahir ada pula sisi bathiniahnya, yang
mempunyai peranan yang tidak kecil bagi lahirnya hal-hal yang bersifat
lahiriah. Sisi bathiniah inilah yang tidak terjangkau oleh pengetahuan Nabi
Musa A.S. (M. Quraish Shihab, 2002: 97-99). ketidak terjangkauan Nabi Musa
karena ia belum sampai pada pemahaman abstrak, karena ia baru saja menjadi
murid Khidir. dalam teori Kolb baru pada dataran pengelaman konkrit, sehingga
makna bathinaihnya(feeling and thingking) (abstrak) belum dapat dipahami
oleh Nabi Musa.
Pada ayat ketujuh puluh, dalam ayat ini Khidir dapat menerima
Musa dengan pesan “jika kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku (Khidir) maka janganlah kamu bertanya tentang
sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri
menerangkan padamu duduk persoalan. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu
perbuatan yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai
menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya. Pada ayat ini sesuai
dengan teori humanistik, dalam proses pembelajaran siswa diberikan kebebasan sehingga
tercapai pembelajaran yang bermakna. Namun guru sebagai fasilitator yang dapat
mengarahkan muridnya. Sebab gurunyalah yang memegang rahasianya.
Nabi Musa mau menerima syarat itu, mamang sebenarnya sikap
Nabi Musa yang demikian itu merupakan sopan santun orang yang terpelajar
terhadap gurunya, sikap sopan santun murid terhadap gurunya. Kadang-kadang
rahasia guru belum tentu dapat dipahami oleh muridnya, tapi baru dapat dipahami
kelak kemudian hari. (Depag, al-Quran dan Tafsirnya: 641).
Pengelaman Nabi Musa dalam pembelajaran bersama Khidir, telah
memberikan gambaran bagi teori humanistik Kolb. Dari keempat proses pembelajaran
Kolb, Pengalaman kongkrit, Pengamatan
aktif dan reflektif, Konseptualisasi, Eksperimentasi
aktif. telah tergambar dalam proses pembelaharan yang dilalui Nabi Musa A.S.
L.
Kelebihan
dan Kelemahan
Styles of
Learning yang disampaika Kolb telah memberikan inspirasi bagi dunia
pendidikan untuk memahami setiap anak memiliki cara belajarnya sendiri. Mencoba
mengenali "Gaya Belajar" anak, dan tentunya setelah guru mengenali
"Gaya Belajar"nya sendiri, akan membuat proses belajar-mengajar jauh
lebih efektif.
Dari sekian
banyak teori atau temuan mengenai "Gaya Belajar", model yang
dikemukakan oleh David Kolb (Styles of Learning Inventory). Keempat
kutub yang disampaikan tersebut relative mudah untuk mamahami gaya belajar
masing-masing, sehingga guru sebagai fasilitator untuk memahami dan mengarahkan
antar individu unik yang dihadapinya. Dari keempat kutub tersebut merupakan
pelengkap bagi teori-toeri humanistik sebelumnya, seperti Carl Roger, Abraham
Maslow dan sebagainya. Karena setiap teori yang disampaikan akan bermakna bila
dilihat dari sudur pandang pembacanya.
Kekurangan
dari teori ini, Kolb tidak menyampaikan kalau setiap individu itu memiliki
karakternya masing-masing. Penulis menganjurkan untuk membaca bukunya Amir
Tengku Ramli dalam bukunya Pumping Talent atau bukunya Del Kernegy, The
Personality Plus. Sehingga kekurangan yang dimiliki oleh terori Kolb
tersebut dapat dilengkapi denan teori pendukungnya. Dan disinilah letak
analisis diskriptif dari kajian ilmiah ini.
M.
Kesimpulan
Teori Humanistik telah memberikan cara belajar yang
lebih bermakna, sehingga dalam proses belajar dan mengajar ada peran dan
peranan yang harus dijalani dengan baik sesuai dengan asas humanisasi.
Kolb
sebagai salah satu yang termasuk dalam teori psikologi humanistik memberikan
sumbangan dalam proses pembelajaran, yang ia tulis dalam keempat proses
pembelajaran Kolb (Styles of Learning Inventory). Yang terbagi dalam
empat kutub. Pengalaman kongkrit,
Pengamatan aktif dan reflektif, konseptualisasi,
serta eksperimentasi aktif. Yang keempatnya itu dapat muncul tanpa disadari.
Dari keempat kutub ini memunculkan kembali pertemuan antar kutub, yang ia
kembangkan dengan istilah Gaya Diverger kombinasi dari perasaan
dan pengamatan (feeling and watching), Gaya Assimillator kombinasi
dari berpikir dan mengamati (thinking and watching), Gaya Converger kombinasi
dari berfikir dan berbuat (thinking and
doing) dan Gaya Accomodator kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling
and doing).
Teori
Humanistik yang telah diungkapkan oleh Kolb, dapat tergambar dalam proses
pembelajaran Nabi Musa dengan Khidir. Dimana Nabi Musa sebagai Murid belum dapat
memahami pengelaman abstrak (feeling and thinking) yang tersirat pada
lafaz Fala tasalni.., yang terjelma
dalam aktifitas belajarnya, denga istilah pengamatan aktif, reflektif
konseptual, dan eksperimentasi aktif.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2007. Sosiologi Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Ali, Nashir. 1987. Jalan Memintas dalam Mendidik.
Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Agama RI. 2008. Al-Qur`an
dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan) Jakarta.
Idi, Abdullah. 2005. No. 1/Tahun V, Juni Prosfek Profesi Guru, dalam Jurnal Istinbath.
Kunandar. 2007. Guru Profesional
Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi
Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Lie, Anita. 2008.
Memudahkan Anak Belajar. Jakarta: Kompas.
________. 2008. No. 07-08, Tahun ke 57, Juli-Agustus. Guru: Perjalanan dan Panggilan, dalam
Jurnal Basis.
Mursyidi, Ahmad. 2007. 14-15 Agustus, Kisah
Seorang Guru Ngaji, Makalah Lokakarya, Yogyakarta.
Nasution,
S., 2009. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nata, Abuddin. 2003. Manajemen
Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media.
Ramayulis. 2005. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta:
Kalam Mulia.
Ramly, Amir Tengku. 2008. Pumping Talent
Memahami Diri, Memompa Bakat. Bandung:
Pumping Publisher.
________. 2008. Menjadi Guru Idola.
Bogor: Pumping Publisher.
Sadulloh, Uyo. 2003. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Shihab, M.
Quraish. 2002. Tafsir
al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Sriwilujeng,
Dyah. 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga.
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan
Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Soemanto, Wasty. 2006., Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Uno, Hamzah B. 2008. Orientasi
Baru dalam Psikologi Pengajaran. Jakarta:
Bumi Aksara.
UURI Nomor 14 Tahun 2004 tentang Guru dan Dosen.
Pribadi, Benny
A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran.
Jakarta: Dian Karya.
http//www. mickeydza90.blogspot.com.
http//www. suhirman.ngeblogs. com.
http//www. wikipidia.com.
http//www. pdf reaserch.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar