A.
Pendahuluan
Berbagai definisi dikemukakan
para ahli mengenai kepemimpinan. George R. Terry (2006, hlm. 343) merumuskan
bahwa kepemimpinan itu “adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya
diarahkan mencapai tujuan organisasi”.
Menurut Sarwono Prawirodiharjo
(1958) yang dikutip oleh Mochtar Effendy (1997, hlm. 13) kepemimpinan adalah ”tingkah
laku untuk mempengaruhi orang lain agar kerjasamanya dalam mencapai tujuan yang
menurut pertimbangannya adalah perlu dan bermanfaat.”
Dari dua definisi di atas, memimpin
berhubungan dengan satu orang yang mempengaruhi pihak lain di dalam kelompok
yang bersangkutan. Di samping itu, pengaruh tersebut timbul dari hubungan
antara pemimpin dan anggota kelompok atau dengan kata lain adanya interaksi
antara pemimpin dengan anggota kelompok.
Dalam kaitannya dengan TQM,
definisi tentang kepemimpinan yang dikemukakan oleh Goetsch dan Davis (1994,
hlm. 192) yang dikutip oleh Nasution (2001, hlm. 149) menyebutkan bahwa
“kepemimpinan merupakan kemampuan untuk membangkitkan semangat orang lain agar
bersedia dan memiliki tanggungjawab total terhadap usaha mencapai atau
melampaui tujuan organisasi.”
Pada dasarnya
definisi-definisi tentang kepemimpinan mengandung banyak kesamaan, yaitu membangkitkan
motivasi anggota kelompok untuk bersama-sama mencapai tujuan organisasi.
Pemimpin merupakan salah satu
pilar TQM untuk menggerakkan organisasi. Menurut Nasution (2001, hlm. 150) “ada
lima pilar untuk menggerakkan suatu organisasi, yaitu produk yang dihasilkan,
proses yang dilakukan dalam menghasilkan produk, organisasi yang digerakkan
oleh seorang pemimpin, serta adanya komitmen diantara para pemimpin di dalam
suatu organisasi”. Kelima pilar TQM digambarkan berikut ini.
PRODUK PROSES
ORGANISASI
PEMIMPIN KOMITMEN
Gambar
1. Lima pilar TQM
Kelima pilar tersebut di atas
saling menopang satu sama lainnya, bila salah satu pilar roboh, maka akan
pincang organisasi tersebut berjalan untuk menuju tujuan organisasinya. Begitupun
dengan peran pemimpin dalam mencapai tujuan organisasinya menduduki posisi sama
pentingnya dengan pilar yang lain. Kepemimpinanya adalah unsur penting dalam
TQM.
Untuk lebih jelasnya akan
dibahas pada pembahasan pada makalah ini.
B.
Pembahasan
1.
Pemimpin Pendidikan
Menurut Tim Dosen Administrasi
Pendidikan UPI (2008, hlm. 126) “kepemimpinan pendidikan merupakan kemampuan
untuk menggerakkan pelaksanaan pendidikan, sehingga tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan dapat tercapai secara efektif dan efesien.”
Kepemimpinan sangat berperan
dalam pencapaian suatu tujuan lembaga atau pun organisasi. Kepemimpinan yang amanah dan bertanggung
jawab dapat membawa lembaga atau organisasi maju dan berkembang. Kepemimpinan
juga sangat erat kaitannya dengan power atau kekuasaan. Kepemimpinan
yang prospektif ditentukan oleh sang pemimpin yang menjadi top leader
dari suatu lembaga atau organisasi.
Menurut Tim dosen Administrasi
pendidikan UPI (2008, hlm. 126) fungsi utama pemimpin pendidikan adalah:
1. Membantu terciptanya suasana persaudaraan,
kerja sama dengan penuh rasa kebebasan;
2. Membantu kelompok untuk mengorganisir diri
yaitu ikut serta memberikan rangsangan dan bantuan kepada kelompok dalam menetapkan
dan menjelaskan tujuan;
3. Membantu kelompok dalam menetapkan
prosedur kerja, yaitu kemudian menetapkan prosedur mana yang paling praktis dan
efektif;
4. Bertanggungjawab dalam mengambil keputusan
bersama dengan kelompok. Pemimpin memberi kesempatan kepada kelompok untuk
belajar dari pengalaman. Pemimpin mempunyai tanggungjawab untuk melatih
kelompok menyadari proses dan isi pekerjaan yang dilakukan dan berani menilai
hasilnya secara jujur dan obyektif;
5. Pemimpin bertanggungjawab dalam
mengembangkan dan mempertahankan eksistensi organisasi.
Pada lembaga pendidikan
siapakah yang disebut pemimpin pendidikan. Dalam buku yang sama Tim Dosen
Administrasi UPI (2008, hlm. 140) menyatakan bahwa guru, wali kelas, kepala
sekolah, pengawas, kepala kantor bidang pendidikan pada semua tingkatan, semua
tenaga edukatif, Dekan, Rektor, beserta pembantu-pembantunya, ahli-ahli ilmu
pendidikan merupakan pemimpin-pemimpin pendidikan” Pada pokoknya setiap orang
yang memiliki kelebihan dan kemampuan pribadinya dapat mempengaruhi, mengajak,
membimbing, mendorong, menggerakkan dan menkoordinasikan staf pendidikan
lainnya ke arah peningkatan atau perbaikan mutu pendidikan dan pengajaran, maka
ia telah melaksanakan fungsi kepemimpinan pendidikan, dan ia tergolong sebagai
pemimpin pendidikan.
Dengan demikian maka pemimpin
pendidikan dapat berstatus pemimpin resmi dan tidak resmi. Pemimpin resmi
dimiliki oleh mereka yang menduduki posisi dalam struktur organisasi
pendidikan. Sedangkan kepemimpinan tidak resmi bisa dimiliki oleh mereka yang
mempengaruhi, memberi tauladan, dan mendorong ke arah perbaikan kualitas kerja penyelenggara pendidikan meskipun dalam
hirarki struktur organisasi pendidikan ia tidak menduduki posisi pemimpin.
Sebagai pemimpin pendidikan
yang berstatus resmi kepala sekolah mempunyai peran yang sangat penting.
Sutrisno (2000, hm. 46) yang dikutip oleh Husaini Usman (2008, hlm. 352)
menyatakan bahwa: ”baik atau buruknya sebuah sekolah lebih banyak ditentukan
oleh kemampuan profesional kepala sekolah
sebagai pengelolanya.” Kepala
sekolah sebagai Top leader pada
lembaga pendidikan memerlukan beberapa persyaratan utama yang merupakan nilai
lebih untuk mempengaruhi, mengarahkan dan memimpin lembaga atau organisasinya
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Lebih lanjut Sutrisno
mengungkapkan, seorang kepala sekolah satidaknya harus menguasai bekal
kemampuan untuk : “ (1) menyusun program kegiatan sekolah; (2) menetapkan
prosedur mekanisme kerja; (3)melaksanakan monitoring, evaluasi, supervisi, dan
membuat laporan kegiatan sekolah; (4) meningkatkan dan memantapkan disiplin
guru dan siswa.
Koran Sindo, Selasa, 12
Agustus 2008, halaman 05, mengemukakan ada 6 kompensasi kepala sekolah yang
harus diperhatikan yaitu : Kepemimpinan, Kepribadian, Sikap sosial, Manajerial,
Supervisi, dan Kewirausahaan.
Seorang kepala sekolah
disamping persyaratan pendidikan harus menguasai kepemimpinan secara teoritik
dan praktik, mempunyai kepribadian yang lembut, tegas, visioner, adil dan
berdisiplin. Kepala sekolah memperhatikan kesejahteraan guru dan pegawai.
Peduli kepada sekolah dan komponen-komponen sekolah lainnya. Sebagai orang
nomor 1 (satu) di sekolah, seyogyanyalah kepada sekolah seorang yang mengerti
manajemen, sehingga manajemen kinerjanya tertata secara baik, kepala sekolah
sebagai pemimpin haruslah mengerti tentang analisis SWOT dan fungsi-fungsi
manajemen seperti yang disingkat dengan
POAC, yaitu : Planning, Organizing,
Actuating/Activating, Controlling.
Kepala sekolah sebagai
pemimpin harus melakukan supervise secara terprogram untuk mengetahui
apakah program sekolah telah terimplementasi secara baik atau belum. Hasil supervise
bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan sebuah program. Di era global sekarang
seorang kepala sekolah harus mempunyai jiwa kewirausahaan, agar bisa mencari
uang untuk kemajuan sekolah, baik untuk pembangunan fisik sekolah, kesejahteraan
guru maupun untuk meningkatkan mutu akademik sekolah. Mencari uang itu bisa melalui :
1) Wali amanah[1]
2) Dana dari orang yang peduli pendidikan
3) Usaha bisnis seperti membuka gerai
internet, kantin, hotel dsb.
4) Dana dari bantuan asing melalui program
jitu yang diimplementasikan seperti peningkatan berbahasa asing, dst (Aliyah
Hamka, 2009, Profesionalita Kepemimpinan
Pendidikan. http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=12876 (
akses 20 Oktober 2009).
Menurut Peter dan Austin yang
dikutip oleh Edward Sallis (2010, hlm. 170) pemimpin pendidikan membutuhkan
perspektif-perspektif berikut ini :
1). Visi dan simbol-simbol. Artinya kepala
sekolah harus mengkomunikasikan visi dan misi institusi kepada para staf,
pelajar dan komunitas yang lebih luas.
2). MBWA (Management
by Walking About) yaitu gaya kepemimpinan tertentu yang dapat mengantarkan
institusi pada revolusi mutu, hal inilah yang dibutuhkan bagi sebuah institusi.
3). “untuk para pelajar” istilah ini digunakan
sama dengan ‘dekat dengan pelanggan’ untuk memastikan bahwa institusi memiliki
fokus yang jelas terhadap pelanggan utamanya.
4). Otonomi, eksperimentasi dan antisipasi
terhadap kegagalan. Pemimpin pendidikan harus melakukan inovasi diantara
staf-stafnya dan siap mengantisipasi kegagalan
yang mengiringi inovasi tersebut.
5). Menciptakan rasa kekeluargaan. Pemimpin
harus menciptakan rasa kekeluargaan diantara para pelajar, orang tua, guru dan
staf institusi.
6). Ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas,
dan antusiasme. Sifat-sifat ini merupakan mutu personal esensial yang
dibutuhkan pemimpin lembaga pendidikan.
Pemimpin yang professional
akan punya power untuk memimpin
bawahannya, sehingga efektif dalam pekerjaan yang diembannya. Pemimpin yang
tidak efektif tidak akan bisa mencapai tujuan lembaga atau organisasi secara
baik. Menurut Silih Agung Wasesa (2006, hlm. 64) “banyak kita lihat CEO (Chief executive officer), kepala
sekolah, rektor, dan sebagainya yang kurang berhasil melaksanakan tujuan
lembaga dan organisasi.”
Peran kepemimpinan untuk
melakukan tranformasi TQM sangat signifikan, tanpa kepemimpinan, proses
peningkatan tidak dapat dilakukan dan diwujudkan. Karena komitmen terhadap mutu
harus menjadi peran utama bagi seorang pemimpin.
Model-model Kepemimpinan dalam Pendidikan
a. Kepemimpinan Visioner
Yang dimaksud kepemimpinan ini
adalah kemampuan pemimpin dalam mencipta, merumuskan, mengkomunikasikan,
mentransformasikan pemikiran-pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau
sebagai hasil interaksi sosial diantara anggota organisasi yang diyakini sebagai cita-cita organisasi di
masa depan yang harus diwujudkan melalui komitmen semua personil.
Menurut Tim Dosen Administrasi
UPI (2008, hlm. 142), kepemimpinan yang relevan dengan tuntutan school based management dan
didambakan bagi produktivitas pendidikan adalah kepemimpinan yang memiliki visi
(visionary leadership) yaitu
kepemimpinan yang kerja pokoknya difokuskan pada rekayasa masa depan yang penuh
tantangan, menjadi agen perubahan (agent
of change) yang unggul dan menjadi penentu arah organisasi yang tahu
prioritas.
Pemimpin yang memiliki visi
merupakan syarat di era otonomi sekarang ini, dimana organisasi harus
menampilkan kekuatan dan ciri khas budayanya menuju kualitas pendidikan yang
diharapkan.
Agar menjadi pemimpin yang
visioner, maka seseorang harus: memahami konsep visi, memahami karakteristik
dan unsur visi dan memahami tujuan visi.
Di era pasar bebas pada abad
ke-21, pendidikan harus dapat mengantisipasi berbagai tuntutan. Pertama,
sekolah diharapkan dapat menyelenggarakan program yang lebih humanis yaitu
memberi peluang yang lebih besar bagi anggota masyarakat untuk dapat memperoleh
manfaat dari penyelenggaraan pendidikan, jaminan mutu pendidikan, menjawab kebutuhan
masyarakat, dan biaya pendidikan yang sepadan. Kedua, persaingan tenaga
kerja yang mengglobal. Untuk mengantisipasi hal ini dunia pendidikan harus
mampu menjamin peserta didiknya di berbagai bidang profesi untuk memperoleh
sertifikat profesi sebagai syarat untuk memperoleh hak bekerja sesuai dengan
kompetensi kepakaran yang dipelajarinya di lembaga pendidikan. Ketiga,
pendidikan harus mampu menyiapkan hasil didik kompetensinya dinilai tidak hanya
atas dasar penguasaan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga penguasaan
sikap dan semangat kerja, kemampuan berkomunikasi, interpersonal, kepemimpinan
dan kerja sama tim. Keempat, kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan
program studi harus dapat menjaga keserasian antara program yang
diselenggarakan dengan aspirasi masyarakat dan negara. Kelima, penyelenggaraan
pendidikan tinggi diharapkan mampu menampung politisasi pendidikan dan
kebutuhan belajar sepanjang hayat.
Berdasarkan beberapa hal di
atas, agar dapat menciptakan pendidikan yang produktif, maka setiap pemimpin
melaksanakan tanggungjawabnya harus mampu menetapkan terlebih dahulu visi dalam
melaksanakan program kerjanya guna mencapai tujuan yang diharapkan.
Menurut Stephen R.Covey (1997,
hlm. 27-37), sifat-sifat seorang visioner, selain dia mampu melihat dan
memanfaatkan peluang-peluang di masa depan ia juga memiliki prinsip
kepemimpinan dengan ciri-ciri:
1). Selalu belajar terus-menerus
2). Berorientasi pada pelayanan
3). Memancarkan energi positif
4). Mempercayai orang lain
5). Hidup seimbang
6). Melihat hidup sebagai petualangan
7). Sinergistik
8). Selalu berlatih untuk memperbarui diri
agar mampu mencapai prestasi yang tinggi.
b. Kepemimpinan Transformasional
Definisi model kepemimpinan
dibangun dari dua kata yaitu kepemimpinan dan transformasional berasal dari
kata to transform yang bermakna
mentransformasikan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda.
Menurut Covey (1989) yang
dikutip oleh Husaini Usman pemimpin
transformasional sesungguhnya merupakan agen perubahan, karena erat kaitannya
dengan transformasi yang tarjadi dalam suatu organisasi. Implementasi model
kepemimpinan transformasional dalam bidang pendidikan memang perlu diterapkan,
alasannya menurut Olga Epitropika (2001, hlm. 1) :
1). Secara signifikan meningkatkan kinerja
organisasi
2). Secara positif dihubungkan dengan
orientasi pemasaran jangka panjang dan kepuasan pelanggan
3). Membangkitkan komitmen yang lebih tinggi
para anggotanya terhadap organisasi
4). Meningkatkan kepercayaan pekerja dalam
manajemen
2.
Mengkomunikasikan Gagasan
Hasil berpikir seorang
pemimpin tidak ada artinya dalam usaha memotivasi dan menggerakkan bawahan atau
anggota suatu organisasi, jika tidak dikomunikasikan secara efektif. Setiap
pemimpin memerlukan kemampuan atau keterampilan dalam mengkomunikasikan setiap
gagasan, prakarsa, pendapat, perintah, dan lain-lain sebagai hasil berpikirnya.
Dalam pikiran itu hanya akan
menjadi hasil berpikir yang efektif jika diwujudkan menjadi kegiatan/tindakan,
baik oleh pemimpin sendiri maupun oleh atau bersama anggota organisasi atau
bawahannya. Oleh karena itulah bahwa inti kepemimpinan adalah pengambilan keputusan.
Inti kepemimpinan itu hanya akan berfungsi melalui hubungan manusiawi yang
dilakukan secara efektif pula. Dalam kenyataannya dua kemampuan tersebut saling
bertaut, karena yang satu akan kehilangan artinya tanpa yang lain.
Untuk mengkomunikasikan hasil
berpikir secara efektif, perlu diperhatikan beberapa faktor sebagai berkut:
- Komunikasikan
hanya hasil berpikir yang efektif, dan obyektif. Ketahui secara tepat dan
baik apa yang dipikirkan dan apa yang akan dikatakan atau dituliskan
mengenai hasil berpikir yang akan dikomunikasikan itu.
- Ketahui
secara tepat dan baik tujuan materi yang dibicarakan atau dituliskan
(dikomunikasikan) agar diketahui manfaatnya bilamana diwujudkan menjadi
kegiatan. Hindarkan mengkomunikasikan hasil berpikir yang tidak bermanfaat.
- Usahakan
menghimpun informasi dan data yang cukup mengenai hasil berpikir yang akan
dikomunikasikan, agar mampu memberikan kejelasan secara tuntas.
- Pergunakan
perkataan dan kalimat yang sesuai dengan kondisi pendengar atau
pembacanya. Usahakan menghindari perkataan yang diperkirakan tidak akan
dimengerti.
- Siapkan
diri untuk menjadi pendengar saran, kritik, pendapat, usul, dan lain-lain
tentang hasil berpikir yang dikomunikasikan. Setiap hasil berpikir pasti
memiliki kelemahan dan selalu ada pihak yang berkeinginan memberikan
masukan, baik datangnya dari pihak yang pro maupun kontra terhadap seorang
pemimpin. Pemimpin tidak boleh hanya mau menjadi pihak yang didengar,
tetapi juga harus mampu menjadi pendengar yang baik.
- Jangan
memaksakan diri berbicara atau menulis sesuatu hasil berpikir dalam
keadaan emosional, seperti marah, jengkel, sedih, sangat gembira. dan
lain-lain. Kondisi seperti itu berpengaruh pada proses berpikir, karena
cenderung mengakibatkan melemahnya kontrol dalam menseleksi umpan balik
yang masuk. Dalam keadaan seperti itu sering terjadi bukan masalah dapat
diselesaikan, namun sebaliknya muncul dan berkembang masalah baru yang
lebih rumit, sehingga kurang menguntungkan dalam kegiatan kepemimpinan
(http://eei.fe.umy.ac.id/index.php?id=111&item=282&option=page
akses 22 Oktober 2009).
Dalam perspektif TQM,
kepemimpinan didasarkan pada filosofi perbaikan metode dan proses kerja secara
berkesinambungan yang akan memperbaiki kualitas, biaya, produktivitas yang juga
akan meningkatkan daya saing. Filosofi ini dikemukakan oleh Deming yang dikutip
oleh Nasution (2001, hlm. 154) dinyatakan bahwa: “setiap perbaikan metode dan
proses kerja akan memberikan rangkaian hasil sebagai berikut; Perbaikan
kualitas, penurunan biaya, peningkatan produktivitas, penurunan harga, peningkatan
pangsa pasar, kelangsungan hidup yang lebih lama dalam industri, lapangan kerja
yang lebih luas dan peningkatan ROI (Return
of Investment).”
Manajer senior harus memberi
arahan, visi dan inspirasi. Dalam organisasi-organisasi TQM, seluruh manajer
harus menjadi pemimpin dan pejuang proses mutu. Mereka harus mengkomunikasikan
visi dan menurunkannya kepada seluruh orang dalam institusi.
3.
Peran Pemimpin dalam Membangun Budaya
Kualitas
Setiap pemimpin baik itu
pemimpin di pemerintahan maupun non pemerintahan menghendaki instansi yang
dipimpinnya dapat mencapai kinerja yang tinggi, namun harapan ini tidak sedikit
yang tidak tercapai. Hal ini dapat terjadi oleh karena berbagai alasan yang
mendasarinya. Tantangan dan hambatan, serta kondisi lingkungan institusinya (fisik
dan manusia) yang dipimpinnya merupakan faktor-faktor yang dapat menghambat
tercapainya harapan yang dimaksud, apabila tidak dikelola dengan baik.
Sumber daya manusia di
lingkungannya, merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan atau kegagalan
dalam pencapaian tujuan tersebut. Guru misalnya dalam lingkungan institusi
sekolah yang memiliki motivasi yang tinggi merupakan harapan setiap Kepala
Sekolah sebagai pemimpinnya. Namun, demikian harapan tersebut sangat ditentukan
oleh kepiawaian Kepala Sekolah dalam memenejemeni sekolahnya. Sebab, guru
adalah manusia yang dinamis, yang memerlukan ”perlakuan” atau perlu pengetahuan
yang mumpuni yang dituntut oleh Kepala Sekolah dalam merencanakan,
mengorganisir, mengarahkan dan mengontrol aktivitas sekolah secara keseluruhan.
Motivasi dan kepuasan dalam
bekerja menjadi sangat penting untuk mencapai keberhasilan kinerja guru dan
sekolah. Keberadaan motivasi dan kepuasan kerja dalam diri seorang guru penting
diketahui dan dipahami, untuk kemudian dikembangkan guna tujuan-tujuan
organisasi. Tentu saja, pemanfaatan motivasi dan kepuasan kerja tersebut
didasari atau dilandasi serta ditunjang dengan faktor-faktor pendukung lainnya,
misalnya kedisiplinan, kesejahteraan, pemberdayaan, dan lain-lain. Bagaimana,
motivasi dan kepuasan kerja tersebut dapat dibangun, inilah peran dan tanggung
jawab Kepala Sekolah sebagai pemimpin, pembina dan pengayom di lingkungan
sekolah.
Menurut E.Widijo
(http://nazwadzulfa.wordpress.com. akses 26 Oktober 2009), untuk menciptakan
budaya kualitas seorang pemimpin di sarankan menggunakan beberapa pilar di
bawah ini :
a).
Kesadaran Diri
Kesadaran diri yang dimiliki oleh setiap bawahan/guru perlu dibangkitkan,
melalui penyadaran ”kesadaran diri” tersebut, seseorang akan menyadarkan
seseorang untuk mau melakukan introspeksi diri, bahwa kegagalan segala sesuatu
harus dimulai dari diri sendiri, atas kehendak dirinya, dan berdasarkan
pengendalian diri dalam diri sendiri. Dengan demikian, di dalam diri setiap
individu guru ada kesadaran untuk memahami bahwa kualitas pribadi dapat
berkembang dengan optimal apabila guru mempunyai kemauan untuk mewujudkannya. Kesadaran
diri yang dibangun seharusnya dapat membawa suatu pemahaman bahwa kualitas
pribadi yang dimiliki merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek yang ada di
dalam diri setiap guru. Tidak hanya peranan dari aspek pengetahuan dan
keterampilan saja, tetapi aspek kemauan yang merupakan kehidupan mentalitas
justru lebih banyak akan menjadi dasar bagi pengembangan kualitas pribadinya.
Jadi, apabila kesadaran mengenai berbagai aspek tersebut akan menentukan
pengembangan kualitas dirinya, tentu saja diharapkan setiap guru juga mempunyai
kesadaran bahwa setiap aspek tersebut harus selalu diasah supaya tetap dapat
menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan yang ada, baik di sekolah maupun
di masyarakat. Kesadaran diri untuk selalu memperbarui keadaan pengetahuan, dan
kepribadian, merupakan suatu langkah untuk membangun kesadaran bahwa kesuksesan
dalam bidang apapun tidak pernah akan tercapai apabila kita tidak mempunyai
kesadaran tentang potensi-potensi yang dimiliki, baik berupa pengetahuan,
keterampilan, ataupun kepribadian guru. Untuk mewujudkan kesuksesan tersebut
Kepala Sekolah harus membangun kesadaran bahwa dibutuhkan suatu ”proses”, bukan
semata-mata ditentukan oleh hasil akhir yang berhasil diraih oleh guru.
b). Pengaturan Diri
Pengaturan diri akan membawa konsekuensi bahwa setiap aktivitas yang
dilakukan oleh guru senantiasa merupakan bagian dari kemampuannya melakukan
pengaturan diri sendiri. Kita adalah subjek bagi diri sendiri, jadi tanggung
jawab Kepala Sekolah adalah menyadarkan guru bahwa dia adalah subjek bagi
dirinya sendiri. ”Sebelum mengatur orang lain, aturlah diri sendiri”, ungkapan
yang sarat makna untuk menyadarkan guru bahwa untuk bisa mengatur siswa, maka
kita harus mampu mengatur diri kita, dan bahwa segala sesuatu ada di tangan
kita. Pengaturan diri yang efektif dapat diukur apabila dalam diri kita ada
kemampuan untuk menetapkan sasaran-sasaran yang akan dituju. Terutama
sasaran-sasaran pribadi. Ini merupakan ”roh” yang akan membangkitkan kita untuk
mau melakukan aktivitas-aktivitas konkret. Dengan adanya aktivitasp-aktivitas
tersebut ini dapat terlihat dengan jelas bagaimana efektivitas guru dalam mengatur
dirinya sendiri. Kegagalan guru dalam mewujudkan sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan, kebanyakan bukan karena guru tidak mempunyai pengetahuan ataupun
keterampilan. Banyak sasaran yang gagal dicapai oleh karena guru lebih banyak
dikendalikan oleh berbagai macam emosi yang dimilikinya. Jika demikian yang
terjadi, aktivitas-aktivitas guru lebih banyak ditentukan oleh berbagai situasi
emosi yang sedang dialami oleh guru. Sering terjadi, aktivitas-aktivitas yang
dilakukan bukan berdasarkan tingkat kepentingan ataupun prioritas, tetapi lebih
banyak hanya sebagai pelampiasan ekspresif dari keadaan emosi yang sulit
dikelola dengan efektif. Memang tidak selamanya hal tersebut menghasilkan
sesuatu yang buruk. Namun, apabila lebih banyak dikendalikan oleh keadaan
emosional diri, hasilnya pun tentu saja tidak dapat dipertanggung jawabkan. Kualitas
pribadi akan terlihat dengan jelas ketika suatu tindakan ada sasaran yang
jelas, dan tindakan tersebut dilakukan saat diri mampu mengelola emosi secara
efektif, dan berdasarkan tingkat kepentingan melalui efektivitas kita dalam
mengelola waktu yang ada.
c). Pembiasaan Diri
Pembiasaan diri akan membawa seseorang utnuk mengubah paradigma. Oleh
karena itu, peran Kepala Sekolah mampu mengarahkan dan menuntun setiap guru
untuk dapat melakukan pembiasan diri yang positif. Jadi, jika Kepala Sekolah
menginginkan kualitas pribadi yang dimiliki guru berkembang, senantiasa harus
bersedia melakukan perubahan-perubahan terhadap diri sendiri sebagai teladan
sehingga guru akan mengikutinya, pada akhirnya guru dapat melakukan pembiasan
dirinya, melalui penyesuaian diri dengan berbagai perkembangan yang terjadi di
sekitarnya. Semuanya dapat berjalan dengan baik apabila hal tersebut dijadikan
oleh masing-masing guru sebagai kebiasan hidup. Persoalanya, dalam menyikapi
perubahan seringkali hanya senang pada satu fokus untuk sekedar mengubah
perilaku, sementara perubahan mentalitas yang dilakukannya belum sepenuhnya
menjadi sasaran pembenahan. Tidak mengherankan apabila perubahan yang terjadi
di dalam diri seringkali hanya bertahan sementara waktu dan cenderung kembali
ke pola-pola perilaku yang lama. Hal tersebut akan terjadi juga ketika setiap
guru menyesuaikan diri hanya pada aspek perilaku, sementara aspek mentalitasnya
belum siap menyesuaikan diri. Oleh karena itu, membiasakan diri dengan
perubahan dan membiasakan diri untuk menyesuaikan diri harus terus diupayakan
oleh Kepala Sekolah, sehingga akan menjadi suatu kebiasan.
d). Evaluasi Diri
Evaluasi diri merupakan aktivitas konkret yang seharunya dilakukan oleh
setiap guru, untuk melihat sejauhmana efektivitas sikap dan tindakan guru,
apakah menghasilkan sesuatu yang optimal bagi dirinya, orang lain, atau
lingkungan kerja dan masyarakat.
Dalam evaluasi diri ini ada semacam kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap diri sendiri (self appraisal), meskipun harus juga melibatkan orang lain, tetapi intinya adalah masing-masing diri guru itu sendiri. Dalam mengevaluasi diri, pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dikemukakan adalah: ”sudah optimalkah kita dalam menggunakan potensi-potensi yang dimiliki?, untuk itu di dalam setiap diri perlu ada keberanian untuk meminta umpan balik dari orang lain. Peranan kepala sekolah dalam hal ini, sangat berarti untuk memberikan umpan balik, karena dari orang lain sesungguhnya mereka dapat bercermin. Kepala Sekolah perlu mengetahui dan ”pandai” untuk ”memancing” keberanian guru untuk membuka diri terhadap umpan balik, dalam bentuk kritikan pada dasarnya berguna untuk menumbuhkan kesadaran bahwa dengan itu guru berani mengevaluasi diri supaya potensi-potensi yang dimilikinya berkembang secara optimal. Kemampuan evaluasi diri ini juga merupakan kesempatan bagi guru untuk kembali membangun kesadaran diri, melakukan pengaturan diri, dan melakukan pembiasaan diri dalam seluruh aspek yang ada di dalam diri, supaya dapat menjadi lebih berkembang untuk mewujudkan kualitas pribadi. Pilar-pilar ini akan kuat apabila digunakan setiap saat, setiap sisi kehidupan. Peranan Kepala Sekolah dalam membangun dan mengembangkan kualitas pribadi melalui empat pilar tersebut dapat menciptakan guru yang memiliki kualitas pribadi yang kuat. Pada kebanyakan di sekolah, beberapa peran dan tugas penting hanya di”dominasi” oleh sekelompok kecil guru, misalnya oleh Staf dan Wakil Kepala Sekolah saja. Sedangkan, guru lain yang jumlahnya lebih banyak seringkali terabaikan. Penelantaran ”kualitas pribadi” sebagian besar dari guru ini dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi, oleh karena kerja secara team tidak dapat terjalin ”kompak”, seringkali justru memunculkan: sikap masa bodoh, saya tidak terlibat/dilibatkan, dan lain-lain. Sebaliknya, pilra-pilar ini akan menjadi kuat apabila Kepala Sekolah mau menggunakannya dalam setiap sisi kehidupan organisasi. Apabila hanya didiamkan saja padahal Kepala Sekolah mengerti dan tahu bahwa pilar-pilar itu sangat berperan dalam mengembangkan kualitas hidup, maka lambat-lambat laun pilar-pilar tersebut akan menjadi keropos dan menjadi rintangan dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Kepala Sekolah kepada guru tersebut.
Dalam evaluasi diri ini ada semacam kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap diri sendiri (self appraisal), meskipun harus juga melibatkan orang lain, tetapi intinya adalah masing-masing diri guru itu sendiri. Dalam mengevaluasi diri, pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dikemukakan adalah: ”sudah optimalkah kita dalam menggunakan potensi-potensi yang dimiliki?, untuk itu di dalam setiap diri perlu ada keberanian untuk meminta umpan balik dari orang lain. Peranan kepala sekolah dalam hal ini, sangat berarti untuk memberikan umpan balik, karena dari orang lain sesungguhnya mereka dapat bercermin. Kepala Sekolah perlu mengetahui dan ”pandai” untuk ”memancing” keberanian guru untuk membuka diri terhadap umpan balik, dalam bentuk kritikan pada dasarnya berguna untuk menumbuhkan kesadaran bahwa dengan itu guru berani mengevaluasi diri supaya potensi-potensi yang dimilikinya berkembang secara optimal. Kemampuan evaluasi diri ini juga merupakan kesempatan bagi guru untuk kembali membangun kesadaran diri, melakukan pengaturan diri, dan melakukan pembiasaan diri dalam seluruh aspek yang ada di dalam diri, supaya dapat menjadi lebih berkembang untuk mewujudkan kualitas pribadi. Pilar-pilar ini akan kuat apabila digunakan setiap saat, setiap sisi kehidupan. Peranan Kepala Sekolah dalam membangun dan mengembangkan kualitas pribadi melalui empat pilar tersebut dapat menciptakan guru yang memiliki kualitas pribadi yang kuat. Pada kebanyakan di sekolah, beberapa peran dan tugas penting hanya di”dominasi” oleh sekelompok kecil guru, misalnya oleh Staf dan Wakil Kepala Sekolah saja. Sedangkan, guru lain yang jumlahnya lebih banyak seringkali terabaikan. Penelantaran ”kualitas pribadi” sebagian besar dari guru ini dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi, oleh karena kerja secara team tidak dapat terjalin ”kompak”, seringkali justru memunculkan: sikap masa bodoh, saya tidak terlibat/dilibatkan, dan lain-lain. Sebaliknya, pilra-pilar ini akan menjadi kuat apabila Kepala Sekolah mau menggunakannya dalam setiap sisi kehidupan organisasi. Apabila hanya didiamkan saja padahal Kepala Sekolah mengerti dan tahu bahwa pilar-pilar itu sangat berperan dalam mengembangkan kualitas hidup, maka lambat-lambat laun pilar-pilar tersebut akan menjadi keropos dan menjadi rintangan dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Kepala Sekolah kepada guru tersebut.
Pilar-pilar yang telah digambarkan dan
dijelaskan tersebut, akan merupakan suatu siklus yang terus berjalan apabila
terus dibangun dan dikembangkan oleh Kepala Sekolah untuk membangun dan
mengerucut pada satu titik kulminasi yaitu motivasi. Jadi, apa yang dilakukan
oleh Kepala Sekolah dalam mengembangkan ”kualitas diri” para guru tidak lain
yaitu untuk membangun motivasi guru, melalui motivasi inilah akan dihasilkan
aspek kepuasan kerja, dan keduanya akan mendorong guru untuk menghasilkan high
performance (kinerja tinggi).
Empat pilar di atas yaitu : Kesadaran
Diri, pengaturan diri, pembiasaan diri dan evaluasi diri, diharapkan dengan
terbentuknya pribadi yang berkualitas akan menghidupkan/mengungkit motivasi (Leverage to Motivation) dalam diri
setiap bawahan /guru yang pada akhirnya dapat memberikan semangat dan kepuasan
dalam bekerja untuk mencapai hasil kerja yang tinggi (high performance).
4.
Memberdayakan Guru
Sebagai pemimpin pendidikan,
kepala sekolah bertanggungjawab atas pertumbuhan guru-guru secara
berkesinambungan, ia harus mampu membantu guru-guru mengenal kebutuhan
masyarakat, membantu guru membina kurikulum sesuai dengan minat, kebutuhan dan
kemampuan peserta didik. Ia harus mampu menstimulir guru-guru untuk
mengembangkan metode dan prosedur pengajaran. Ia harus mampu membantu guru-guru
mengevaluasi program pendidikan dan hasil belajar murid . Disamping itu kepala
sekolah harus mampu menilai sifat dan kemampuan guru.
Keberhasilan suatu sekolah
pada hakikatnya terletak pada efisiensi dan efektivitas penampilan seorang
kepala sekolah. (Wahjosumidjo 2002, hlm. 349). Sedangkan Sekolah sebagai
lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan dan proses
belajar mengajar dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini
kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk memimpin sekolah,
kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala
sekolah diharapkan menjadi pemimpin dan inovator di sekolah. Oleh sebab itu,
kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan
sekolah.
Lebih lanjut Wahjosumidjo mengemukakan bahwa:
Penampilan kepemimpinan kepala sekolah adalah
prestasi atau sumbangan yang diberikan oleh kepemimpinan seorang kepala
sekolah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang terukur dalam rangka
membantu tercapainya tujuan sekolah. Penampilan kepemimpinan kepala sekolah
ditentukan oleh faktor kewibawaan, sifat dan keterampilan, perilaku maupun
fleksibilitas pemimpin. Menurut Wahjosumidjo, agar fungsi kepemimpinan kepala
sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan
sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang memiliki
kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan
dan pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi dan pengawasan.
Kemampuan profesional kepala sekolah sebagai
pemimpin pendidikan yaitu bertanggung jawab dalam menciptakan suatu situasi
belajar mengajar yang kondusif, sehingga guru-guru dapat melaksanakan
pembelajaran dengan baik dan peserta didik dapat belajar dengan tenang.
Disamping itu kepala sekolah dituntut untuk dapat bekerja sama dengan
bawahannya, dalam hal ini guru. Kepemimpinan kepala sekolah yang terlalu
berorientasi pada tugas pengadaan sarana dan prasarana dan kurang memperhatikan
guru dalam melakukan tindakan, dapat menyebabkan guru sering melalaikan tugas
sebagai pengajar dan pembentuk nilai moral.
Hal ini dapat menumbuhkan sikap yang negatif dari
seorang guru terhadap pekerjaannya di sekolah, sehingga pada akhirnya berimplikasi
terhadap keberhasilan prestasi siswa di sekolah. Kepala sekolah adalah
pengelola pendidikan di sekolah secara keseluruhan, dan kepala sekolah adalah
pemimpin formal pendidikan di sekolahnya. Dalam suatu lingkungan pendidikan di
sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab penuh untuk mengelola dan
memberdayakan guru-guru agar terus meningkatkan kemampuan kerjanya. Dengan
peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan
guru-guru yang juga merupakan mitra kerja kepala sekolah dalam berbagai bidang
kegiatan pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap
pekerjaannya dan meningkatkan kompetensi profesionalnya
Untuk memberdayakan guru, harus ada ikatan batin
antara guru dan kepala sekolah. Secara teknis, kegiatan yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kompetensi guru adalah (1) bimbingan dan tugas, (2)
pendidikan dan pelatihan, (3) kursus-kursus, (4) studi lanjut, (5) promosi, (6)
latihan jabatan, (7) rotasi jabatan, (8) konferensi, (9) penataran, (10)
lokakarya, (11) seminar, dan (12) pembinaan profesional guru ,supervisi
pengajaran. (http;//www.freewebs.com)
Mengapa guru harus diberdayakan? Hal ini karena
guru adalah “agen perubahan” (Dede Rosyadah 2010, hlm. 1). Karena pengetahuan,
sikap, pandangan, dan tindakan-tindakan mereka dalam mendidik anak serta
berbagai metode yang mereka gunakan dalam mengajar dapat meningkatkan kemampuan
siswa untuk belajar. Oleh sebab itulah penting untuk melakukan investasi dalam
bentuk peningkatan keterampilan guru mengajar.
Memperhatikan pendapat di atas, adanya
keberpihakan pemimpin/kepala sekolah dalam hal memberdayakan guru dengan cara
memberikan bimbingan dan tugas, memberikan kesempatan kepada guru sekolah atau
pendidikan dan pelatihan, karena dengan pendidikan dan pelatihan akan menambah
wawasan kepada guru. Selanjutnya melaksanakan kursus-kursus keterampilan kepada
guru yang tentu memiliki kaitan dengan bidang keahlian guru dalam mengajar,
studi lanjut juga sangat peran dalam meningkatkan profesionalisasi guru.
Kemudian promosi bagi guru yang memang layak untuk diberikan penghargaan,
dengan demikian akan meningkatkan semangat kerja yang lebih maju kepada guru
dalam menjalankan tugasnya. Latihan
jabatan dan rotasi jabatan juga salah satu cara memberdayakan guru. Konferensi
juga mesti dilakukan, karena dengan konferensi[2] akan muncul gagasan dari guru dalam hal
memajukan kegiatan sekolah.
Penataran juga salah satu cara memberdayakan guru,
karena dengan penataran-penataran seorang guru akan bertambah wawasannya.
Lokakarya dan seminar juga tidak kalah pentingnya dalam hal memeberdayakan
guru.
Adapun yang terakhir adalah pembinaan profesional
guru (supervisi pengajaran). Setiap guru perlu menyadari bahwa pertumbuhan dan
pengembangan profesi merupakan suatu keharusan untuk menghasilkan output pendidikan berkualitas. Itulah
sebabnya guru perlu belajar terus menerus, membaca informasi terbaru dan
mengembangkan ide-ide kreatif dalam pembelajaran agar suasana belajar mengajar
menggairahkan dan menyenangkan baik bagi guru apalagi bagi peserta didik.
Guru yang profesional sangat berarti bagi
pembentukan sekolah unggulan. Guru profesional memiliki pengalaman mengajar,
kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab,
wawasan kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, trampil, kreatif,
memiliki keterbukaan profesional dalam memahami potensi, karakteristik dan
masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir
peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum.
C.
Penutup
Kepemimpinan merupakan salah satu pilar dalam
manajemen mutu terpadu. Peran kepemimpinan sangat besar dalam membudayakan
kualitas organisasinya termasuk organisasi pendidikan. Pemimpin yang
professional memiliki kemampuan memimpin bawahannya, serta mimiliki visionary
/pandangan jauh ke depan sehingga apa yang menjadi program kerja/cita-cita
institusi pendidikan akan tercapai secara efektif dan efesien.
Dalam membangun budaya kualitas seorang pemimpin di
sarankan menggunakan beberapa pilar, yaitu: Kesadaran diri, pengaturan diri, pembiasaan diri, evaluasi diri. Dengan
empat pilar di atas, diharapkan akan terbentuknya pribadi yang
berkualitas yang akan menghidupkan motivasi dalam diri setiap bawahan /guru
yang pada akhirnya dapat memberikan semangat dan kepuasan dalam bekerja untuk
mencapai hasil kerja yang tinggi serta kualitas yang memuaskan.
REFERENSI
Achmad S. Ruky, 2002, Sukses sebagai
Manajer Profesional tanpa Gelar MM atau MBA, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Aliyah Hamka, 2009, Profesionalita Kepemimpinan Pendidikan.
http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=12876
( akses 20 Oktober 2009.
Covey, Stephen
R.1997.Principle Centered Leadership,
Binarupa Aksara,Jakarta
Effendy,Mochtar,1997.Kepemimpinan, Yayasan Pendidikan dan
Ilmu Pengetahuan Islam al-Muktamar,Palembang.
E.Widijo, 2006, Sumber : http://nazwadzulfa.wordpress.com
( akses 26 Oktober 2009).
http;//www.freewebs.com
Nasution,M.N,2001.Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality
Management). Ghalia Indonesia,Jakarta.
Salis,Edward, Total Quality Management in Education, IRCiSoD,
Jogjakarta.
Koran SINDO,
Selasa, 12 Agustus 2008
Terry,George
R,2006. Asas-Asas manajemen, Alumni,Bandung
Tim Dosen
Administrasi Pendidikan UPI, 2008. Manajemen Pendidikan, Alfabeta, bandung
Terry,George R.2008.Prinsip –prinsip manajemen, Bumi aksara,
Jakarta.
Usman,Husain,2008.Manajemen teori Praktik dan Riset
pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta.
Wahyu Wibowo,
2001, Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa
Indonesia Untuk Mahasiswa dan Praktisi Bisnis, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama.
[1] Majelis
Wali Amanah adalah suatu dewan yang tugasnya membina dan mengawasi jalannya
suatu organisasi yang dinaunginya. Dewan ini biasanya merupakan perwakilan atau
beranggotakan orang-orang yang dipilih dari berbagai pihak (stakeholder) yang
berkepentingan langsung dengan organisasi bersangkutan. Majelis ini
kadang-kadang disebut juga sebagai Dewan Penyantun, Dewan Pembina
[2]Konferensi
adalah pertemuan yang diselenggarakan oleh organisasi untuk berunding atau
bertukar pendapat mengenai masalah yang dihadapi bersama. Lihat Wahyu Wibowo, dalam Manajemen Bahasa:
Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia Untuk Mahasiswa dan
Praktisi Bisnis, ( Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001 ), hlm.40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar